![]() |
Sidang Hakim Pembebas Ronald Tannur. |
JAKARTA, GebrakNasional.Com – Konsep tangkap tangan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah penindakan terhadap pelaku kejahatan dengan bukti yang melekat padanya.
Hal itu dikatakan Ahli Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI), Eva Achjani Zulfa saat menjadi Ahli dalam Sidang dugaan suap dan gratifikasi vonis bebas Gregorius Ronald Tannur dengan terdakwa Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Heru Hanindyo, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat, Jumat, 21 Maret 2025
Penjelasan ini dijabarkannya menjawab pertanyaan kuasa hukum Heru soal ketentuan tangkap tangan dalam proses penegakan hukum.
“Saudara ahli bisa jelaskan kepada kami apa yang dimaksud tertangkap tangan?,” tanya kuasa hukum.
“Konsep tertangkap tangan itu sederhananya adalah orang yang memang dia sedang melakukan aktivitas tidak pidananya, ada bukti yang melekat pada dirinya, kemudian pada saat yang sama dia ditangkap,” ujar Eva.
Menurut Eva, penjelasan kegiatan tangkap tangan tertuang pada Pasal 1 angka 19 KUHAP. Dia memberikan contoh adanya kasus tangkap tangan seperti maling ayam.
“Ada maling ayam di kandang ayam, sedang pegang ayam orang, tertangkap oleh masyarakat. Jadi konteksnya tertangkap tangan adalah orang yang memang sedang melakukan aktivitas tindak pidana dan itu dia ketahuan,” kata Eva.
Eva juga mengatakan, pelaku yang telah tertangkap tangkap tangan harus dibawa ke penegak hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
“Makanya, kemudian ada di KUHAP adalah dia harus dibawa ke pos polisi terdekat untuk dibuatkan berita acara penyerahan kepada penyidik,” ujarnya.
Diketahui, Heru Hanindiyo merupakan satu dari tiga orang Hakim PN Surabaya yang didakwa menerima suap sebesar Rp 4,67 miliar dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi atas pemberian vonis bebas kepada terpidana pembunuhan Ronald Tannur.
Dalam perkara itu, Heru Hanindiyo disebut tertangkap dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Sementara, Hakim PN Surabaya itu menyampaikan nota keberatan lantaran penyidik tidak dapat menunjukan izin dari Ketua Mahkamah Agung (MA) berdasarkan ketentuan Pasal 26 Undang-Undang Tentang Peradilan Umum.
Eva menegaskan, jika aturan formil tidak dipenuhi oleh penyidik, maka prosedur penangkapan tersebut menjadi tidak sah.
“Jika sejak awal prosedurnya sudah salah, maka konsekuensi hukumnya semua proses hukum itu tidak sah,” ujarnya.
Dalam kasus itu, Heru didakwa dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 Ayat (2) atau Pasal 5 Ayat (2) dan Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. (*/red)
Tidak ada komentar:
Tulis komentar