Sabtu, 25 Januari 2025

RUU KUHAP, Ahli Hukum Soroti Dua Pasal Terkait Kewenangan Jaksa dan Polisi


JAKARTA, GebrakNasional.Com – Dua Pasal dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dianggap bisa mengancam kewenangan Jaksa dan Polisi. Dua pasal tersebut, yakni Pasal 111 Ayat (2) dan Pasal 12 Ayat (11). 


Demikian dikatakan Ahli hukum dari Universitas Brawijaya (UB), Prija Djatmika dalam keterangannya, dikutip Kamis, 23 Januari 2025


Menurutnya, sejumlah ketentuan dalam RUU KUHAP dinilai dapat menimbulkan persoalan baru antara Kepolisian dan Kejaksaan.


Dalam Pasal 111 Ayat (2), Jaksa diberikan kewenangan untuk mempertanyakan keabsahan proses penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh Kepolisian. Seharusnya Pasal tersebut mutlak kewenangan dari Kepolisian.


Prija khawatir penerapan pasal tersebut akan menimbulkan penanganan perkara hukum yang tidak terpadu.


“Yang benar yang boleh mengontrol hanya Hakim Komisaris atau Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Jadi, ini Pasal 111 ini mending dihapuskan saja, yang Ayat (2),” kata Prija.


Sementara itu, dalam Pasal 12 Ayat (11) disebutkan bahwa jika laporan masyarakat tidak mendapat tanggapan dari kepolisian dalam waktu 14 hari, dapat langsung ke kejaksaan.


Prija menilai, aturan ini sebagai bentuk kemunduran, karena praktik tersebut yang diterapkan sejak masa era Hindia Belanda hingga Orde Baru yang akhirnya dihapus.


“Ini memberi peluang Jaksa untuk kembali sebagai penyidik, ini merusak tatanan distribusi kewenangan yang sudah diatur bagus dalam KUHAP. Jadi ini langkah mundur. Seharusnya, seperti saat ini, Jaksa hanya bisa (menyidik-red) pelanggaran HAM berat dan tindak pidana korupsi,” ujarnya.


Jika Jaksa memiliki kewenangan untuk menerima laporan, melakukan penyelidikan, dan sekaligus menuntut, maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan dengan Kepolisian.


“Jadi penyidik (Jaksa-red) bisa menyidik sendiri, menuntut sekaligus menyidik. Kecuali, memang perkara tindak pidana khusus karena tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM berat itu extraordinary crime, kejahatan luar biasa,” ujarnya.


Prija juga mengusulkan agar pola kerja sama antara penyidik Kepolisian dan Jaksa dilakukan dengan konsep satu atap, seperti yang diterapkan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).


Dengan sistem ini, kata Prija, diharapkan penanganan perkara dapat berjalan lebih efisien, sekaligus meminimalisir pengembalian berkas perkara secara berulang dari Kepolisian.


“Tetapi, pada saat penyidikan, tetap tugasnya Polisi, Jaksa bukan koordinasi saja, tapi sinergi dalam rangka collecting evidence atau pengumpulan barang bukti, Jaksa dilibatkan setelah penyidikan,” pungkasnya. (*/red)

Show comments
Hide comments
Tidak ada komentar:
Tulis komentar

Berita Terbaru

Back to Top